al-mawud

Saturday, May 3, 2008

erungkapnya penganut Al Maw'ud menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi para orang tua. Sebab, tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan (setingkat SMA) menjadi korban aliran tersebut.

Bila melihat kejadian itu, untuk sementara ini diketahui para pengikut Al Maw’ud adalah para remaja yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan. Kondisi emosi mereka yang labil, pengetahuan agama yang dangkal, dan keingintahuan yang besar, rupanya sangat dimengerti oleh para penyebar aliran Al Qiyadah Al Islamiyah itu.

Yang menarik, ajaran itu bisa begitu kuat menancap dalam pikiran para penganutnya. Bahkan, mereka memiliki etos dakwah Al Maw’ud yang pantang menyerah membela kesesatan.

Adapun modus yang dilakukan oleh penyebar aliran itu diduga menggunakan tahapan yang cukup sistematis. Sebagaimana dijelaskan Zaenal Mustofa, seorang pelajar dan penganut aliran itu, sistem perekrutan yang digunakan adalah “satu lawan satu”.

Artinya, satu ustad menggodok satu calon penganut. Dengan cara ini, penanaman aqidah Al Maw’ud sangat efektif. Di sebuah ruang tersendiri, sang ustad mengubah keyakinan lama calon penganut baru.

“Pengajian yang kami ikuti di sebuah rumah di kawasan Genuk Karanglo dan di Jln. Sawi. Setiap pengajian tidak banyak yang ikut, hanya saya dengan ustad,” kata Zaenal.

Dia mengaku tertarik dengan ajaran itu karena dianggapnya menawarkan hal baru dalam pemahaman ajaran Islam. Ajaran itu dirasakan lebih pas karena menjelaskan esensi sebuah ibadah meninggalkan kewajiban fisik.

Begitu keyakinan itu menancap, dia tidak lagi terbebani kewajiban syar’i dalam simbol-simbol ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.

Anehnya, mereka mengaku tak mengetahui siapa nama guru dan tempat tinggalnya. Adapun materi yang menjadi bahan kajian adalah terjemahan Al Qur’an dan Injil. Pada umumnya, mereka memiliki pemahaman bahasa Arab, ilmu fiqih, dan syariat yang tidak memadai.

Untuk memahami Al Qur’an saja, mereka menggunakan terjemahan Al Qur’an. Mereka tanpa susah-susah memahami Al Qur’an dengan menguasai ilmu nahwu, sharaf (tata bahasa Arab), atau ilmu balagah (penyampaian Al Qur’an).

Setiap dialog yang mereka lakukan, berdasarkan poko’e. Kalau tidak mampu menjawab pertanyaan, mereka mengalihkan perhatian ke bab lain yang sama sekali tidak berhubungan.

Setiap anggota bergerilya mencari satu orang calon penganut. Biasanya, mereka mengambil sasaran teman-teman terdekat di sekolah mereka. Seperti Arif Kurniawan alias David Hasan, mengajak Masrinah, teman sekelas di sebuah SMK Negeri di daerah Jln. Pandanaran Semarang. Lalu, Masrinah mengajak Zaenal Mustofa yang tinggal satu asrama di Sayung, Demak. Sedangkan Zaenal mengajak beberapa orang teman sekolahnya di sebuah SMA swasta di Demak. Bahkan, Masrinah juga berhasil menggaet seorang teman perempuannya yang tinggal satu asrama lagi, dan seterusnya.

Selanjutnya, mereka menyerahkan kepada ustadnya untuk menggodok teman-temannya secara face to face. Sebagaimana ajaran organisasi Islam, ajaran yang diutamakan adalah soal keimanan. Bedanya, aqidah yang dikembangkan adalah aqidah tauhid dan Al Masih Al Maw’ud.

Selanjutnya, mereka memasuki terapi pembangkitan girah (semangat beragama). Saat itulah mulai terjadi distorsi pemahaman tentang kelompok-kelompok beragama. Mereka dicekoki keyakinan bahwa kelompoknya yang paling benar.

Seorang penganut sekaligus pendakwah, Masrinah, menganggap orang yang tidak mengikuti ajarannya disamakan dengan sampah. Alasannya, orang-orang yang tidak sepaham dengannya dianggap tidak mengamalkan Al Qur’an.

Begitu keimanan mereka mapan, maka mereka memasuki tahap berikutnya, yakni baiat. Pembaiatan dilakukan di tempat yang dirahasiakan. Setiap anggota yang telah dibaiat diberi nama baru.

Seperti yang dialami Masrinah, memiliki nama baiat berkesan sinkretisme Islam dan Nasrani, Francisca Nurul, atau Arif Kurniawan memiliki nama baiat David Hasan.

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web